Politik Pencitraan

Kewarganegaran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nama    : Rachmat Sunarya

NPM     : 15212835

Kelas     : 2EA28

S1 Manajemen

 

Politik Pencitraan

 

Salah satu yang dihasilkan dari reformasi adalah politik pencitraan oleh para politisi di Indonesia. Politik pencitraan ini muncul akibat politik Indonesia yang tidak lagi bisa dikelola melalui cara-cara menakutkan gaya Orde Baru (represi, intimidasi, kekerasan fisik, tuduhan subversif), tetapi harus dikelola dengan cara-cara yang “merangkul” rakyat. Lahirlah politik pencitraan. Namanya juga citra, jadi ya sifatnya pasti permukaan.

 

Apakah dalam pencitraan itu sungguh-sungguh atau cuma tipu-tipu, nah itu bisa dilihat dari latar belakang sosial politisi tersebut. Kalau yang berasal dari kelas bawah (atau yang tadinya miskin), biasanya melakukan politik pencitraan itu dilakukannya dengan tidak canggung, luwes, dan spontan, karena cenderung pernah mengalami semua kesusahan itu. Tapi kalau yang berasal dari kelas atas (atau yang dari kecilnya sudah kaya) maka biasanya lucu, tidak spontan, dan artifisial (misalnya, Megawati, SBY, Aburizal Bakrie). Wallahualam.

 

Berikut beberapa politik pencitraan di Indonesia yang kita kenal:

 

1. Pergi ke pasar tradisional, 2. Makan di angkringan, 3. Naik KRL untuk Jakarta dan sekitarnya, 4. Makan nasi aking, 4. Duduk lesehan di pertemuan warga atau nonton acara dangdutan, 5. Nginep di rumah warga miskin, 6. Ikut kerja bakti warga, 7. Ikut jualan sembako, 8. Jadi among tamu kalau pas ada kondangan, 9. Jadi makmum, bukan imam shalat, 10. Sepedaan dan jalan-jalan keliling bersama warga, 11.  Berkunjung ke restoran/warung lantas membayari semua yang makan di situ tanpa harus kasih tahu ke pengunjung (biar kasirnya yang ngasih tahu pas pada bayar, maksudnya), 12. Keliling kampung dan door-to-door menyapa warga, 13. Datang kondangan, 14. Datang takziah, 15. Memakai kostum yang identik dengan rakyat (batik, koko, baju kotak-kotak), 16. Naik mobil tidak mewah, 17. Kendarai motor sendiri (honda pitung kalau ada), 18. Ikut antri nonton bioskop, 19. Gadgetnya nokia jadul, bukan BB atau iphone, 20. Mengelus anak kecil dan menciumnya, 21. Merangkul orang susah, 22. Memakai sandal atau sepatu yang sederhana (sudah usang malah makin bagus), 23. Anda bisa tambahkan sendiri..

 

Politik pencitraan bisa blunder jika melakukannya tidak dengan hati atau hanya karena ingin dilihat merakyat. Tapi politik pencitraan bisa ampuh kalau melakukannya dengan ikhlas karena memang kita semua terbiasa atau bahkan pernah mengalami yang dicitrakan itu. Semakin kreatif, semakin bagus…walaupun mungkin lantas kita sedikit (atau malah banyak) bergeser dari substansi politiknya.

 

 

 

Politik pencitraan sudah tidak lagi mujarab menaikkan keterpilihan calon presiden pada Pemilihan Umum 2014 karena rakyat sudah semakin cerdas memilih.

 

 

Rakyat sudah bisa menilai dari rekam jejak para calon presiden, apakah dia amanah menjalankan tugas sebagai pemimpin walaupun di level yang lebih kecil atau sudah pernah diberi tanggung jawab namun tidak amanah.

 

Kita bisa  mencontohkan elektabilitas Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi yang sulit tertandingi calon-calon lain karena rakyat mengetahui rekam jejak selama dia mendapatkan amanah menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI.

 

Calon lain yang muda dan telah menunjukkan prestasi untuk bangsa tampil sebagai capres dan diusung parpol seperti Wali Kota Surabaya Tri Risma Harini, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Dahlan Iskan.

 

 

 

Masa kampanye Parpol diharapkan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Salah satunya terkait materi kampanye yang diharapkan menyentuh program-program Parpol, dan tidak hanya sekadar pencitraan.

.

 

Salah satu yang dihasilkan dari reformasi adalah politik pencitraan oleh para politisi di Indonesia. Politik pencitraan ini muncul akibat politik Indonesia yang tidak lagi bisa dikelola melalui cara-cara menakutkan gaya Orde Baru (represi, intimidasi, kekerasan fisik, tuduhan subversif), tetapi harus dikelola dengan cara-cara yang “merangkul” rakyat. Lahirlah politik pencitraan. Namanya juga citra, jadi ya sifatnya pasti permukaan.

 

Apakah dalam pencitraan itu sungguh-sungguh atau cuma tipu-tipu, nah itu bisa dilihat dari latar belakang sosial politisi tersebut. Kalau yang berasal dari kelas bawah (atau yang tadinya miskin), biasanya melakukan politik pencitraan itu dilakukannya dengan tidak canggung, luwes, dan spontan, karena cenderung pernah mengalami semua kesusahan itu. Tapi kalau yang berasal dari kelas atas (atau yang dari kecilnya sudah kaya) maka biasanya lucu, tidak spontan, dan artifisial

Pencitraan diri seorang figur yang sedang bertarung dalam kontestasi politik berdampak besar bagi elektabilitas mereka. Sosok yang populer yang sedang berkuasa bisa terjungkal jika salah sedikit saja dalam mencitrakan dirinya.

 

Ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat pemilih semakin detail mengamati perilaku orang-orang populer yang disebut-sebut sebagai calon pemimpin masa depan.

 

Tak hanya individu, politik pencitraan juga berdampak besar bagi institusi atau lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta. Lembaga yang tidak pandai mencitrakan diri sulit mendapatkan simpati masyarakat.

 

Sebaik apa pun kinerja lembaga tersebut jika tidak dibarengi dengan pengelolaan pencitraan yang tepat akan kurang populer di mata publik. Ujung-ujungnya peran positif lembaga itu akan tenggelam oleh lembaga lain yang kinerjanya biasa-biasa saja atau bahkan kurang tapi lihai mengelola pencitraan.

 

Mantan Presiden AS, Bill Clinton, punya pepatah terkenal: “Jika politik itu kotor, maka bersihkanlah dengan puisi”. Ungkapan ini terbilang aneh. Sukar dimengerti. Bagaimana mungkin kekuasaan politik yang begitu kuat bisa dibersihkan oleh bait-bait sajak?

 

 

Meski dalam sejarah politik kita, puisi memang mampu menjadi bahasa perlawanan. Kata-kata puitis tetapi bersemangat sering hadir dalam panggung politik kita. Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, misalnya, siapa yang tak kenal puisi Chairil Anwar, Antara Kerawang dan Bekasi? Atau betapa populernya goresan kata-kata sajak dari Widji Thukul, seniman PRD di era perlawanan meruntuhkan Orde Baru. Widji Thukul menulis bait: Hanya ada satu kata, lawan!!!

 

Halnya dalam pertarungan politik terkini, maka yang menggurita adalah bahasa citra. Atau yang disebut dengan politik pencitraan. Politik pencitraan mewujud dalam rupa-rupa wajah. Gemebyar iklan maha dahsyat di televisi; gambar-gambar semarak di koran; pesan-pesan menggelora via internet; bahasa bujukan melalui radio; dan dekorasi gambar melalui baliho; adalah metode komunikasi politik pencitraan.

 

Apakah itu haram?

 

 Dan.

 

POLITIK PENCITRAAN

 

Tidak, tentu saja. Dalam politik modern, tak ada yang salah dengan hal itu. Lebih-lebih politik tanah air saat ini tengah mengalami Amerikanisasi Selera. Gaya politik pencitraan kita hampir sama dengan gaya politik di negeri Paman Sam sana.

 

Tetapi catat. Ada perbedaan menonjol antara politik pencitraan modern yang berlangsung di negara maju, dengan politik pencitraan yang berlangsung di tanah air.

 

Di Amerika, misalnya, politik pencitraan berbasis pada fakta. Bersumber dari pembuktian karya. Dan ditopang oleh tujuan yang fokus. Lain kata, politik pencitraan di Amerika adalah bahasa argumentasi. Demi menjelaskan figur atau kelompok kekuatan politik tertentu.

 

Ini berbalik punggung dengan politik pencitraan di Indonesia. Arus kuat dalam metode politik pencitraan kita melulu berbasis pada kekuatan imajinasi. Alias dekat-dekat dengan manipulasi. Seorang tokoh atau kekuatan politik tertentu, tanpa sungkan mengeksploitasi pesan-pesan yang tak berdasar.

 

Itulah yang disebut dengan kapitalisasi pesan. Maksudnya, kapitalisasi adalah membesarkan hal-hal remeh atau bahkan tak jelas, sekaligus menutupi hal-hal besar (yang buruk). Tentu ada alasan di belakang itu. Kerapkali jawaban pembelaan yang muncul adalah: politik itu soal persepsi (alias cara memaknai sesuatu).

 

Jika sudah begitu, maka dalam politik pencitraan berbalut dusta seperti itu, yang akan menang adalah yang paling punya uang banyak, punya jaringan media luas, punya akses kekuasaan besar, dan sekaligus punya moral yang (sangat) tak bertanggungjawab.

 

Resiko yang terjadi adalah praktek pembodohan. Publik kehilangan kesempatan mengakses fakta dan bukti yang nyata. Rakyat berkekurangan pesan-pesan berkualitas. Lantaran yang paling bergemuruh di TV, Koran, Internet, adalah politik pencitraan berbasis kepalsuan.

 

Inilah yang terjadi. Tokoh, figur, dan politisi berkelas, yang memang punya dedikasi kuat, bekerja sungguh-sungguh, dan ada jejak nyata yang bermanfaat, malah sepi dari publikasi. Separah itukah…

 

 

 

POLITIK DUSTA

 

Ada yang lebih mengerikan dari politik pencitraan yang berlebihan seperti diungkap di atas. Itu adalah politik dusta. Memang, dalam politik ada yang disebut dusta putih, dusta statistik, dan dusta kasar. Dusta putih, kurang lebih adalah dusta yang dikemas dengan samar dan sangat halus. Seperti kata-kata terkenal Pak Harmoko di zaman Orde Baru dulu, dia selalu mengatakan “penyesuaian harga” untuk mendustai rakyat tentang fakta “harga yang melambung tinggi”.

 

Sementara dusta statistik adalah yang kini ramai dipakai oleh Konsultan Politik. Mereka —para konsultan itu— getol mengumbar data-data pemenangan klien mereka. Padahal yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Untuk melacak dusta statistik ada rumus baku. Konon, setiap “angka bulat” dalam statistik selalu dipastikan bohong…

 

Lalu yang ketiga, dusta politik tipe kasar. Secara pribadi, saya sering merasa risih dengan dusta tipe ini. Mengumbar janji yang tak jelas. Menjual kata-kata bujukan yang tak realistis. Atau retorika iklan politik yang berisi pemanis semata. Tak jarang, tipe dusta kasar seperti ini bertebaran di mana-mana. Salah satu contoh, ada partai politik yang berjanji kalau menang di Sulawesi Selatan, maka Pak JK jadi Presiden, padahal di Jawa partai yang sama mengatakan Jika partai itu menang maka yang jadi Presiden adalah Jokowi. Aneh bukan?

 

 

 

POLITIK KINERJA

 

Tetapi Tuhan Maha Adil. Politik tak harus selalu mengambil pola pencitraan semu dan dusta. Tetapi juga memberi peluang bagi siapa saja yang terbukti bekerja nyata. Pilihan itu adalah politik berbasis kinerja.

 

Maka, secara pribadi saya mematok standar seperti ini. Pola komunikasi politik yang saya lakukan memang “berbau” pencitraan. Akan tetapi semua itu bersumber dari fakta-fakta yang bisa dilacak kebenarannya oleh siapa saja.

 

Politik berbasis kinerja formulanya sederhana saja. Secara ringkas saya membuat tiga kategori utama tentang politik kinerja. Pertama, jika fakta dikarang-karang maka itu hanyalah cerita. Kedua, jika fakta dimanipulasi maka itu adalah dusta. Ketiga, jika fakta berbasis pada bukti  nyata, maka itu adalah data…

 

Maka politik kinerja adalah mengungkapkan data apa adanya. Tidak dibuat-buat, tidak menjual mimpi, bebas dari janji palsu, dan sahih.

 

Karena itu, tak ada keraguan bagi saya mengungkap karya bakti. Pun, dengan terbuka saya membuat Surat Pertanggungjawaban Publik, tentang apa saja yang saya lakukan. Dengan kata lain, politik kinerja justru perlu disebarluaskan. Gunanya adalah mendidik publik atau para pemilih, tentang siapa yang layak mereka percaya.

 

Politik kinerja jauh dari kepentingan membesar-besarkan diri, sombong, atau riya. Itu adalah bagian dari operasi komunikasi politik yang sehat. Silahkan rakyat yang memperdebatkan, apakah kinerja yang telah saya berikan cocok atau tidak. Sekaligus silahkan menilai, apakah kinerja saya sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sini. Itu saja…